Karya seni etnik Cina di Indonesia yang juga dikenal sebagai kesenian Mandarin, secara formal memang belum pernah mendapat pengakuan sebagai kesenian rakyat. Meskipun demikian, bersamaan dengan menggeloranya gerakan reformasi yang ditandai dengan iklim kebebasan, masyarakat Cina yang termasuk bagian dari rakyat Indonesia memperoleh hak kebebasan yang sama dalam mengekspresikan karya seninya. Salah satu karya seni musik Mandarin yang berkembang secara lestari di Solo, adalah musik Erhu yang dengan setia ditekuni dan dipelihara musisi Budi Kristianto Tandiyo.
Seni musik Erhu adalah kesenian yang memanfaatkan instrumen musik gesek rebab Cina, tidak berbeda dengan rebab dalam seni karawitan Jawa atau biola yang digesek dalam posisi berdiri. Musik Erhu, menurut Budi, di negeri asalnya daratan Tiongkok lebih banyak digunakan untuk mengiringi pementasan wayang Potehi. Irama alat musik Erhu yang konon dikembangkan seseorang bernama Sin Chiang yang meniru dari perangkat bunyi-bunyian dari “jantung Asia” Mongolia itu, di masa lalu juga banyak terdengar di kelenteng-kelenteng tempat wayang Potehi dipentaskan.
Universalitas seni musik Erhu yang diadaptasikan ke bumi nusantara, ternyata tidak menjadikan irama dari efek getar dawainya asing di telinga masyarakat Indonesia. Instrumen musik Erhu yang biasanya hanya untuk mengiringi adegan-adegan wayang Potehi dengan irama monotonis, di tangan musisi Budi menjadi sangat kaya warna dan memenuhi citarasa siapa saja. Musisi peranakan Cina yang lahir dan dibesarkan di Kota Solo itu, begitu piawai mengaransir lagu-lagu dengan iringan gesekan musik Erhu yang akrab dengan semua lapisan pendengarnya. Seusai menggelar musik Erhu bersama dua puteri dan seorang saudara sepupunya dalam pentas budaya Mandarin, di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Mesen, Solo, baru-baru ini, Budi mengungkapkan, dia mengenal musik Erhu sejak usia 10 tahun. Musisi berusia 55 tahun tersebut, pada awalnya berguru menggesek instrumen musik rebab Cina itu kepada seorang pemain dan musisi pengiring wayang Potehi, almarhum Liem Tan Kwan.
Sepeninggal gurunya Liem Tan Kwan yang hanya sempat mengajarnya sekira dua tahun, Budi yang telah menguasai teknik memainkan instrumen musik Erhu, terpaksa beralih berlatih instrumen musik biola. Selama belajar biola itu, musisi yang sehari-hari sebagai pengusaha alat-alat berat itu melakukan eksplorasi memainkan instrumen musik Erhu menggunakan partitur seni musik modern. Hasilnya, getaran dawai instrumen musik Erhu dengan warna suaranya yang khas, mampu menghasilkan irama instrumentalia lagu-lagu apapun — selain lagu-lagu tradisional Cina juga lagu daerah, lagu berirama pop maupun lagu-lagu Barat — menurut kehendak musisinya.
Dalam pentas yang lalu, Budi dan kerabatnya menyajikan sederet lagu yang bercirikan citarasa berbeda-beda, seperti lagu Mandarin “Sie Yang Yang” yang melukiskan suasana perayaan di Tiongkok, lagu legendaris “Bengawan Solo”, lantunan lagu yang melukiskan semangat persatupaduan, termasuk lagu-lagu lain yang berirama Barat atau pop Indonesia dan lagu-lagu daerah. Dominasi irama instrumen musik Erhu yang dipadu dengan alat musik perkusi tradisional juga khas Cina yang disebut “yung gim”, serta dilengkapi instrumen electone organ, menjadikan seni musik Erhu semakin hidup dan kaya warna
Apabila kita mau mengakui secara jujur, yang namanya rakyat Indonesia sebenarnya bukan hanya mereka yang lahir sebagai suku Jawa, Sunda, Batak, Minang, Dayak, Bugis, dan suku-suku lain. Namun, etnis yang berasal dari Arab, India, dan sebagainya, termasuk etnis Cina yang lahir dan dibesarkan di Indonesia, adalah rakyat Indonesia. Dari sini barangkali bisa dipahami, bahwa seni musik Erhu maupun karya seni lain, seperti liong dan samsu yang dilestarikan masyarakat Cina di Indonesia, adalah juga kesenian rakyat yang tidak berbeda dengan kesenian rebana yang bernapaskan Timur Tengah atau orkes melayu yang mengadaptasi musik India.
Musisi Budi Kristianto Tandiyo yang menggeluti instrumen musik Erhu sejak bocah adalah salah seorang yang telah lama mengalami penindasan budaya akibat terkena peraturan yang melarang pelaksanaan tradisi budaya Cina. Kalau sekarang dia masih setia berkesenian musik Erhu — di samping sebagai musisi biola yang cukup andal — itu bukan disebabkan masih adanya ikatan batin dengan para leluhurnya, namun karena dia ingin melestarikan karya seni yang dipandangnya universal itu.
Selama dalam suasana penindasan budaya — setidaknya sepanjang pemerintah Orde Baru 32 tahun — Budi yang sempat memuseumkan instrumen Erhu di almarinya semakin tekun belajar menggesek biola. Sebagai musisi yang pada awalnya berlatih menggesek dawai rebab Cina yang disebut Erhu, menganggap bermain biola lebih mudah ketimbang memainkan instrumen Erhu.
“Kesulitan memainkan instrumen musik Erhu terletak pada teknik menekan dawai di tongkat nada. Berbeda dengan biola yang pada tongkatnya terdapat tuts pengatur nada, pada tongkat nada rebab Cina Erhu tidak ada tutsnya. Pengaturan nada pada Erhu lebih banyak menggunakan perasaan,” jelas Budi penuh semangat.
Tingkat kesulitan dalam memainkan rebab Cina itu, dianggap Budi sebagai sebuah keberuntungan yang memudahkan dia menguasai teknik permainan biola. Sebab dalam teknik bermain Erhu, para pemain bisa mengekspresikan berbagai warna suara, termasuk tiga macam nada vibratto, seperti untuk melukiskan suasana batin yang sedih, luapan emosi saat marah dan semacamnya. Kendati demikian, sebagai musisi yang sangat menguasai permainan biola, Budi tetap merasa instrumen musik biola lebih ekspresif karena alat musik dari Barat itu memiliki lebih banyak nada dengan tingkat presisi lebih baik dibanding Erhu.
Atmosfer kebebasan yang berhembus sejak Presiden Gus Dur berkuasa sampai masa kini, tidak pernah disia-siakan Budi Kristianto. Berbekal sebuah rebab Cina yang semula dia kandangkan di almari, yang kemudian ditambah dengan alat baru yang dia beli dari Tiongkok, dalam beberapa tahun terakhir Budi dengan semangat melatih anak-anaknya maupun beberapa orang yang berminat bermain musik Erhu. Dia terpaksa melakukan pelatihan sendiri sebab sisa-sisa pemain musik Erhu di Indonesia tinggal beberapa orang saja dan itu pun sudah berusia tua yang bermukim di berbagai tempat.
Hasil jerih payah musisi instrumen tradisional Cina itu kini mulai menampakkan hasil. Beberapa orang musisi binaannya kini bisa dikatakan sudah jadi dan terampil memainkan rebab Cina, yang berdasarkan sejarah berasal dari Mongolia dan dikembangkan bangsa Han di Tiongkok tersebut.
Kebangkitan seni musik tradisional Erhu kini memang belum populer. Menurut Budi, dia bersama kelompoknya belum banyak tampil di pentas-pentas berskala akbar. Dia menyebut, meskipun penampilan para pemusik Erhu kelompok Budi cukup memukau, selama ini mereka menyebut masih terbiasa main dari rumah ke rumah. Penampilan di pentas, katanya, masih bisa dihitung dengan jari, antara lain di auditorium Universitas Gadjah Mada Yogyakarta dua kali, di “Jendela Budaya” Bandung dengan dukungan etnis Cina nonteknik lift sekali dan di beberapa tempat lain termasuk saat tampil sepentas dengan para pemusik dari RRC.
Dalam menggairahkan seni musik Erhu di Indonesia yang dalam pandangannya sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat Indonesia, Budi mengangankan suatu saat instrumen rebab Cina yang kini masih harus impor dari Tiongkok dapat diproduksi lagi di tanah air. Sebelum munculnya larangan terhadap upacara tradisi dan budaya Cina yang berdampak dengan terkuburnya kesenian tradisional Cina, alat musik Erhu pernah diproduksi di Semarang. Akibat belum adanya pembuat alat musik gesek tradisional itu, Budi maupun para pemusik rebab Cina itu harus mendatangkannya dari Cina, dengan harga 3.000 yen atau setara Rp 15 juta untuk sebuah instrumen Erhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar